The Alien

Cerpen Panjang ( Dialog ) " Hingga Batu Berbicara "

| Minggu, 09 Maret 2014

Hingga Batu Berbicara
Karya : Miftah Ihza Ainul Yaqin

"Biarkan aku!" seru gadis itu sekali lagi sambil menatapku tajam.
Aku memandangnya lama, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ini
ketiga kalinya ia berada di tempat ini. Melakukan hal yang sangat tidak
wajar. Ia bicara pada batu-batu! Ya, pada batu! Ia bisa tampak serius,
lalu tiba-tiba tertawa atau menangis sendiri. Ia membelai batu-batu.
Menggendongnya seperti menggendong bayi, memasukkan batu-batu
tersebut ke dalam tas kainnya yang kusam.
"Bukankah kalian telah merampas semua? Sekarang, biarkan aku bicara
pada batu-batu itu!"teriaknya lagi.
Dan seperti hari-hari kemarin, aku pun berlalu begitu saja dari hadapan
gadis itu sambil membetulkan letak senapan laras panjang yang
kusandang. Namun sampai di pos penjagaan, beberapa meter dari tempat
perempuan itu berada, mataku masih lekat padanya.
Aku tak tahu siapa perempuan itu. Diakah? Sejak pindah tugas bulan lalu
dari Tel Aviv ke tanah kelahiranku, Yerusalem, tepatnya di sekitar Al-
Aqsha dan Dinding Ratapan ini, hampir setiap hari aku, juga tentara yang
lain melihatnya.
"Suatu hari aku akan bersenang-senang dengannya!"ujar David, teman
bertugasku di sini yang senantiasa memproklamirkan dirinya sebagai
Lohamei Herut Israel sejati. Ia menyeringai, menampakkan gigi-giginya
yang kecoklatan. "Lihat saja nanti!" serunya.
"Ya, setelah itu kita akan menghabisi perempuan gila itu!"sambung
Goldstein, temanku yang lain dengan nada dingin, sambil melipat koran
Yediot Aharonot, yang sejak tadi dibacanya.
Perempuan itu memang masih muda. Mungkin usianya sekitar dua puluh
sampai dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik, seperti kebanyakan gadis
Palestina, hanya sedikit lebih runcing. Matanya kelabu, bulat dan bening.
Kedua alisnya yang hitam dan tebal hampir menyatu di atas hidung yang
mencuat. Ia tinggi namun sangat kurus dan tampak semakin tenggelam
dalam abaya dan kerudung hitamnya yang besar, longgar dan lusuh. Dari
jauh sosoknya mengingatkanku pada tiang-tiang abu-abu dan hitam yang
sering kami pancangkan di perbatasan daerah pemukiman.
"Apa yang dibicarakannya dengan…," David tak sanggup menahan tawa,"
Batu-batu itu…?"
Aku mengangkat bahu. Membuka helm ‘perang’ dengan kaca plastik yang
kerap menutupi wajahku. Kini aku dapat memandang gadis itu lebih jelas.
Wajah pasinya tak wajar. Kulihat ia komat kamit, berbicara pada batubatu
itu. Tangannya cekatan menyusun bebatuan tersebut dalam satu
barisan panjang. Lalu ia memberi aba-aba, layaknya seorang komandan
mempersiapkan para prajuritnya. Perempuan itu menghentak-hentakkan
kaki ke bumi, berjalan di tempat, berulangkali. Wajahnya lurus ke depan,
tepat ke arah kami. Namun pandangannya kosong. Beberapa saat
kemudian ia sudah duduk begitu saja di tanah. Menyusun batu-batu lain,
menumpukkannya ke atas dan tersenyum-senyum sendiri. Pernah pula
aku melihatnya sedang melakukan gerakan-gerakan sembahyang.
Sementara batu-batu besar dan kecil berjajar rapi di belakangnya.
Gila, batinku. Dan sama gilanya bila aku masih memperhatikannya.
"Selama ia cuma bicara pada batu, biarkan saja. Kita juga butuh hiburan
kan?" Goldstein mendengus, kemudian meludah.
***
"Kau tak akan percaya, tetapi batu-batu ini memang bicara padaku!"
Gadis itu berusaha meyakinkanku. "Kau mau tahu apa katanya?"
Aku mengangguk bodoh.
Mata gadis itu berubah liar. Bibirnya melengkung ke bawah. Penuh
keyakinan ia berkata, "Mereka, batu-batu itu akan membinasakan kalian,
sebagaimana kalian membinasakan bangsa kami!" Ia tertawa-tawa,
sambil mengusap batu-batu itu. Makin lama makin keras. Mengikik,
menukik-nukik. Menyeramkan. Lalu tiba-tiba dingin. Angin! Tawa itu
menjelma angin puyuh yang berputar, terus berputar menggulungku…,
lalu menghempaskanku ke sebuah tepian.
Tiba-tiba saja aku telah berada di tempat lain. Sekelilingku gelap. Aku
berada dalam lorong panjang yang pekat. Bulu kudukku berdiri. Aku
merasakan tangan dan kakiku dingin, namun hawa panas juga
menyergapku. Keringat menetes, membasahi baju seragamku.
Hati-hati sekali aku berjalan. Aku tersesat dalam labirin sunyi tanpa
nama. Aku meraba-raba mencari cahaya. Tertatih-tatih. Rasanya aku
telah berjalan beratus-ratus jam, sampai kulihat setitik sinar.
Detak jantungku makin keras. Setengah memicingkan mata, perlahan aku
menghampiri sumber cahaya tersebut. Tiba-tiba kudengar suara-suara
isakan. Erangan-erangan yang memenuhi segenap ruangan. Lalu
tangisan, jerit kesakitan dan teriakan histeris yang tak putus-putus.
Dan…aku nyaris terpekik. Aku biasa melihat mayat, namun tak sebanyak
ini! Di hadapanku kini kulihat ratusan mayat bergelimpangan. Semakin
lama semakin banyak. Menjadi ribuan dan terus bertambah lagi. Mayatmayat
itu berjejalan, seperti ikan-ikan sardin dalam kaleng. Darah terus
menetes-netes dari tubuh-tubuh itu. Anyir. Mengental, menganak sungai.
Beberapa kali aku terpeleset, dan jatuh di atas mayat-mayat itu.
"Negeri kami! Di mana negeri kami?"
"Tanah, kembalikan tanah kami!"
Suara-suara itu menggema, bergelombang, berulang-ulang. Meninggalkan
pedih. Seperti pisau yang mengerat-ngerat sanubari. Badanku gemetar,
menggigil. Kepalaku pening. Rasanya aku akan pingsan, saat sayup-sayup
kudengar suara ayah, "Ingat Jhosua I,3: Setiap tempat yang akan kami
injakkan dengan telapak kakimu, sudah Aku berikan padamu…."
Suara ayah, para rabbi dan erangan-erangan tadi seperti berebutan
menarik-narik kedua kupingku. Aku merasa kupingku meleleh.
Pandanganku kabur.
Samar, kulihat gadis itu. Wajahnya beku. Ia tak bicara. Hanya buliran
bening di matanya jatuh menetes membasahi tanah dan batu-batu di
sekitar yang telah meresap darah.
Aku mengucek kedua mataku. Apa aku tak salah lihat?
Batu-batu itu! Batu-batu itu bergerak, perlahan membumbung ke atas.
Aku terperanjat! Batu-batu itu beterbangan! Mereka menuju ke arahku!
Mereka berlomba-lomba mengejarku. Aku berlari di atas mayat dan
tulang-tulang berserakan. Tenagaku tinggal sisa-sisa. Kakiku perlahan
membeku. Semakin kaku. Aku terjatuh. Terjerembab di atas mayat para
kanak-kanak yang membusuk. Dan sebuah batu yang paling besar
sekonyong-konyong akan menimpa kepalaku. Aku terbelalak. Tak
percaya, kulihat kedua mata yang tiba-tiba tampak pada batu itu. Mata!
Batu itu punya mata! Juga mulut! Ia bahkan bersuara! Ia terus
memanggil-manggil namaku.
"Aaaaaaaaaaaa!"
Aku berteriak sekeras-kerasnya!
Aku terbangun! Sekujur tubuhku peluh. Penuh ngilu.
Belum pukul dua dini hari. Gadis itu. Gadis yang berbicara dengan batubatu.
Mengapa aku memimpikannya? Aku mengusap peluh di dahi. Mimpimimpi
seram telah memilihku menjadi tempat persemayaman sejak aku
berada di tanah ini dan semakin menjadi-jadi sejak aku mulai bertugas
lima tahun lalu. Sungguh, kami telah begitu karib. Tak pernah ada hal
buruk yang terjadi padaku sesudah mimpi-mimpi seram itu datang. Jadi…,
secara logika, aku harus meneruskan tidurku. Meneruskan hidupku.
Namun gadis itu…dan batu-batu yang berterbangan, kini berpindah dari
dalam mimpi ke langit-langit kamarku. Membentuk bayang-bayang aneh
bersama lambaian pepohonan yang dibawa cahya rembulan masuk,
melalui celah jendela.
Aku terjaga. Aku terus berjaga!
"Kami tak dapat menjagamu lagi, Hanan…."
Aku melihat seorang lelaki bersimbah darah, merangkak tertatih
mendekati mayat seorang perempuan sebayanya. Di sisi mayat
perempuan tersebut, seorang gadis kecil seusiaku menangis
sesenggukan. Ia membuang boneka kain yang sejak tadi bersamanya dan
memeluk jasad ibunya yang kaku dengan segenap jiwa. Lalu ia menatap
ayahnya, meratap parau.
"Jangan menangis, Hanan? Ja…ngan…menangis…, kau masih ingat cerita
ayah tentang batu-batu…itu?" Lelaki itu berusaha tersenyum sambil terus
merayap. Perlahan ia menjatuhkan badannya di samping mayat istrinya.
Sebelah tangannya menggenggam tangan sang istri. Sebelah lagi, yang
luka dan berlumuran darah membelai wajah gadis kecil bernama Hanan
itu.
"Rasulullah sudah mengatakannya, bannatii…, kiamat tak akan datang
sampai tiba pertempuran kita dengan mereka. Hingga…seluruh batu
berbicara dan memberitahu kita: ya hamba Allah, ini Yahudi di
belakangku!* Mereka tak akan…bisa sembunyi, nak. Batu-batu dan semua
tentara Allah di alam ini akan membantu kaum Muslimin. Rasulullah telah
bersaksi…."
"Abi!!"
"Jaga dirimu baik-baik…."
Dari balik pintu kayu yang rapuh, aku melihat lelaki itu tak bergerak lagi.
Dan Gadis delapan tahunan itu menjatuhkan kepalanya di dada ayahnya.
"Yatom! Yatom!"
Aku terperanjat. Lututku gemeretak. Sekilas kulihat gadis itu memandang
ke arah pintu dan menemukan wajahku di sana. Matanya sembab. Kedua
pipinya yang merah jambu, kini benar-benar merona darah ayahnya.
"Anak nakal!" Suara ayah menggelegar. Ia menjewer dan nyaris
menendangku dengan sepatu larsnya.
"Tapi… ayah…,"aku mengusap keringat dingin di dahiku. Sementara gadis
kecil itu menatap kami dengan pandangan penuh tanya yang menusuk.
"Setelah dibersihkan, besok rumah ini bisa kita tempati. Ayo, beritahu
ibumu!"seru ayah tak peduli.
Aku menatap gadis itu lagi dan menemukan diriku yang masih gemetar,
tenggelam dalam bulat matanya. Dan wajah runcing kanak-kanaknya
memperlihatkan garis-garis tegar, tarikan-tarikan keras. Aku merasa nyeri
dan teriris-iris. Betapa pedih ditinggal ayah dan ibu. Bahkan bila kau tak
menyukai mereka!
Ya, aku menyaksikan sendiri! Ayahku telah membunuh ayah gadis itu!
Teman-teman ayahku menelanjangi sebelum membunuh ibunya dengan
keji, hingga darah bercipratan di mana-mana dan tentara yang lain
mengobrak abrik tempat ini dengan bengis.
"Mengapa… kita… harus tinggal… di sini, ayah?" tanyaku ketika berlalu.
Ah, aku selalu gagap bila berbicara dengan ayah.
"Sebab ini tanah yang dijanjikan untuk kita dan besok…rumah ini menjadi
milik kita, " Ayah mengusap kumisnya yang lebat. "Yatom, apa pun yang
terjadi kau harus jadi seperti aku dan membela tanah ini. Sekarang coba
sebutkan Satanim atau harar!" perintahnya.
"A…a…a…takkim,shada…, parokim, libarim…, babill, onan,,
protokolat…,aa…gorgah, plotisme, qornun…."
Ayah terbahak-bahak. Menyentak-nyentak. "Hilangkan gagapmu!"
serunya kemudian, masih menggelegar. "Aku tak suka mendengarnya!"
Aku menunduk. Mengangguk-angguk.
Setiap kali bicara, ayah selalu menjelma raksasa yang menelanku bulatbulat.
Ketika aku menjadi tentara lima tahun lalu, ia masih seorang
raksasa. Hingga kini. Bagiku, tak seorang pun mampu menghadapinya!
Keluargaku mulai menempati rumah itu dua hari kemudian. Kami
membuat rumah tersebut tampak lebih bagus dan nyaman. Pintu kayu
yang rapuh itu telah berganti dengan pintu baru yang kokoh. Ibu
menghias semua ruangan, di antaranya dengan perabotan yang diplitur
mengkilap. Tetapi tetap saja aku sering bergidik membayangkan bahwa
pernah ada mayat yang terkapar di sana.
Sementara itu si gadis kecil entah ke mana. Aku menemukan boneka
kainnya dalam keadaan kotor dan lapuk, di samping rumah. Beberapa
kali, kala senja, aku memergokinya tengah memandangi tempat tinggal
kami dari jauh. Ia tampak kurus, kumuh dan tak terurus. Bajunya
compang camping, wajahnya penuh debu. Samar, kulihat sebongkah batu
dalam genggaman tangannya yang mungil.

KARYA : MIFTAH IHZA AINUL YAQIN

1 komentar:

Next Prev
▲Top▲