Menyingkap Tirai Pusaka Tombak Kyai Gobang – Legenda Watu Blorok
Angin mendesis perlahan, menari di hamparan ilalang yang mengering. Suara jangkerik memecah keheningan malam. Sekelebat bayangan wanita cantik berambut panjang melintas di antara redup sinar bulan purnama. Suara lolong anjing menambah angker suasana perbukitan Watu Blorok.
Watu Blorok adalah nama suatu tempat yang berada di daerah Kabupaten Mojokerto kawasan utara Sungai Brantas, tepatnya di perbukitan hutan kayu putih antara Jetis dan Dawarblandong. Watu Blorok menyimpan misteri yang masih diyakini oleh masyarakat sekitarnya.
Fenomena Watu Blorok sering mengundang pertanyaan. Penampakan sosok wanita cantik berambut panjang di malam bulan purnama menjadi teka – teki yang tak pernah terjawabkan. Hanya merekalah yang percaya yang dapat menjawab teka – teki fenomena keganjilan Watu Blorok.
Siapa sebenarnya wanita cantik yang berambut panjang penghuni Watu Blorok tersebut ?
Semua adalah misteri.
Tak mampu manusia biasa menyingkapnya.
Tirai itu tertutup oleh kabut merah jingga.
1
Tugas Mulia Sang Baginda
Malam semakin larut. Purnama redup menggelayut awan. Dewi malam tersenyum di atas pucuk – pucuk pohon kayu putih yang mulai meranggas. Aromanya menyengat terbawa semilir angin. Membuat bulu kuduk merinding berdiri.
Sayup – sayup dari kejauhan terdengar lolongan anjing hutan merintih pilu, menambah malam semakin angker.
Malam itu, malam Jum’at manis. Wiro Bastam tidak bisa tidur, tak mampu sekejap pun ia memejamkan mata. Pikirannya terganggu oleh hilangnya pusaka kerajaan. Pusaka kerajaan Kyai Gobang hilang raib entah ke mana. Sebagai panglima kerajaan ia bertanggungjawab atas hilangnya pusaka Kyai Gobang.
Betapa terkejutnya Wiro Bastam, di malam yang sudah larut itu Baginda Raja bersama pengawal kerajaan menghampiri dirinya. Dengan suara yang berwibawa Baginda Raja menyapa Wiro Bastam.
“ Wiro Bastam ! “
“ Ampun Baginda Raja, terimalah sembah sungkem hamba “, sujud Wiro Bastam.
“ Wiro Bastam, Pusaka Kerajaan Kyai Gobang telah hilang dicuri orang. Pusaka itu adalah pusaka kejayaan Kerajaan Majapahit yang turun – temurun. Oleh karena itu saya perintahkan kepadamu untuk mencari pusaka tersebut sampai ketemu,” perintah Baginda Raja kepada Wiro Bastam.
“ Perintah Baginda Raja akan hamba laksanakan,” jawab Wiro Bastam.
“ Bagus ! sebagai panglima kerajaan kamu harus melaksanakan tugas berat ini. Dan kamu jangan pernah kembali sebelum kamu menemukan Pusaka Kyai Gobang ! “
“ Sendhika Dhawuh Gusti. Perintah paduka akan hamba junjung tinggi,” jawab Wiro Bastam dengan hati berdebar.
“ Baiklah Wiro ! besok pagi kamu harus berangkat. Bawalah bekal secukupnya. Pilihlah kuda yang tangguh. Pekerjaan ini bukan pekerjaan ringan. Bawalah kuda sembrani untuk menemanimu menjelajah belantara. Jangan lupa pilih prajurit – prajurit handal untuk tugas negara ini.” Perintah Paduka Raja Majapahit.
“ Ampun Paduka. Ampuni hamba, malam ini juga hamba minta pamit, doa restu paduka selalu hamba harapkan,” jawab Wiro Bastam sambil menundukkan kepala.
“ Semoga Sang Hyang Akaryo Jagad selalu bersamamu dalam menjalankan tugas mulia ini. Berangkatlah Wiro, berangkatlah !. Restuku menyertaimu,” jawab Paduka Rja penguasa Kerajaan Majapahit.
“ Terima kasih paduka,” sambung Wiro Bastam.
Bulan purnama mulai condong ke barat. Lolongan anjing sudah tidak terdengar lagi. Suara burung hantu menyapa Wiro Bastam yang dalam kegelisahan. Wiro Bastam semakin gelisah ketika lentera yang menerangi kediamannya padam seketika, hatinya berdebar, bibirnya bergumam.
“ Duh Gusti Kang Murbeng Dumadi, ampuni hambamu yang hina ini, Kuatkanlah kami dalam menghadapi cobaan. Dan lindungi kami serta selamatkan kami dalam pencarian Pusaka Kyai Gobang.”
Tak terasa butiran perak itu menggelinding membasahi pipi Wiro Bastam. Dalam kesendiriannya ia teringat akan ayah ibunya yang sudah meninggalkan dirinya. Tanpa sanak keluarga ia lalui hari – harinya dengan mengabdikan diri sebagai prajurit kerajaan Majapahit. Hari itu Wiro Bastam mendapat tugas berat. Sebagai benteng kerajaan Wiro Bastam harus menjalankan tugas mulia itu. Wiro Bastam harus meninggalkan kerajaan Majapahit.
Pagi – pagi sebelum sang surya menampakkan wajahnya, Wiro Bastam bersama rombongan meninggalkan gerbang kerajaan Majapahit. Keberangkatannya dilepas oleh Sang Raja sendiri. Rakyat Majapahit mengantar Wiro Bastam dengan suka cita. Mereka berteriak – teriak mengantar kepergian Wiro Bastam sampai batas kota.
“ Hidup Wiro Bastam, hidup ! “
“ Hidup Wiro Bastam, hidup ! “
Dengan melambaikan tangan, Wiro Bastam meninggalkan kerajaan majapahit.
Kuda Sembrani yang ditumpangi Wiro Bastam berlari kencang. Dengan gagahnya kuda itu menelusuri lembah, menembus belantara. Baru tengah hari Wiro Bastam bersama rombongan menghentikan perjalanannya. Tak terasa mereka sudah sampai di tengah belantara. Mereka sudah sampai di hutan bambu yang lebat. Suara aum harimau terdengar menyeramkan. Wiro Bastam bersama rombongan beristirahat sejenak untuk memberi makan kuda – kuda mereka. Tak ada yang bertegur sapa. Mereka membisu seribu bahasa. Dalam keheningan itu Matari prajurit yang paling tua mengusulkan sesuatu kepada Wiro Bastam.
“ Kakang Wiro Bastam, kakang jangan terlalu bersedih dalam pencarian Pusaka Kyai Gobang, percayalah Kang kita pasti menemukan pusaka itu,’
“ Betul Kang, kita harus makan dulu.
Perutku kan sudah lapar Kang.
Kasihan bekal kita Kang, kalau tidak dimakan.
Makan dulu ya, Kang ?
Please…….. !” sahut Si Gembul prajurit berperut buncit itu.
“ E……. dasar jemblung, yang dipikir cuma isi perutnya aja. Kita ini dalam suasana susah, jangan makan melulu yang dipikirkan.
Dasar jemblung, perutnya aja yang besar otak udang. Kasihan deh lu…” sambung Wiryo Broto
“ Udah – udah jangan bertengkar, makan memang perlu, sebelum melanjutkan perjalanan kalian makan dulu.
Matari ! buka bekal itu, mari kita makan dulu,” kata Wiro Bastam melerai.
“ Para prajurit buka bekalmu, makan dulu sebelum kita melanjutkan perjalanan. Perjalanan kita masih panjang, kita harus membawa pulang Pusaka Kyai Gobang ke Majapahit”, nasehat Wiro Bastam.
“ Terima kasih Kakang,” jawab Joko Pleret berbinar – binar.
Siang itu udara di hutan bambu sangat gerah. Wiro Bastam dan anak buahnya menikmati makan siang seadanya, lauk semur jengkol dan sambal korek bekal dari rumah. Wiro Bastam memperhatikan anak buahnya satu – persatu. Rasa bersalah menyelimuti perasaannya.
“ Duh Gusti Kang Maha Agung berilah kekuatan kepada kami untuk melanjutkan perjalanan ini. Berilah kami kemudahan Gusti”, gumam Wiro Bastam lirih.
Selesai makan prajurit Majapahit yang dipimpin Wiro Bastam melanjutkan perjalanan. Belantara demi belantara mereka lalui. Jurang terjal mereka turuni, gunung – gunung yang menjulang tinggi mereka daki. Namun Pusaka Kyai Gobang belum mereka temukan. Hati Wiro Bastam semakin resah. Ia tidak yakin bisa menemukan pusaka itu.
“ Ke mana pusaka kerajaan itu harus aku cari. Haruskah aku meninggalkan Majapahit karena tidak bisa menemukan Kyai Gobang ?” tanya Wiro Bastam dalam hatinya.
“ Aku harus bisa, harus bisa,” ucapnya lirih.
2
Tersesat di Hutan Maja
Sudah satu minggu rombongan prajurit Majapahit keluar masuk hutan. Perbekalan mereka sudah menipis. Namun pusaka Kyai Gobang belum juga ditemukan. Persediaan makan untuk makan malam sudah tidak ada, terpaksa mereka makan apa adanya. Buah - buah yang mulai mengkal menjadi santapan mereka.
“ Kakang Wiro Bastam perutku lapar”, keluh Si Gembul.
“ Baiklah, Si Gembul sebentar lagi kita akan sampai ke lembah, di sana kita bisa mencari makanan.” Jawab Wiro Bastam.
“ Weleh…… weleh …… kamu lagi, kamu lagi. Dasar weteng karet, buah satu keranjang sudah dihabiskan masih lapar juga,” sahut Jaka Pleret menggoda.
” Dengar tuh dalam perutku keroncongan, ini tandanya harus diisi makanan”, sambung Si Gembul sambil mendekatkan telinga Jaka Pleret ke perutnya.
“ Duu …….tt”, tiba – tiba Si Gembul kentut. Baunya amat busukbagaikan bau bangkai. Seketika itu juga Jaka Pleret mendorong Si Gembul, terjadilah perkelahian satu lawan satu. Jaka Pleret tersinggung dengan ulah Si Gembul. Perkelahian hebat antara Jaka Pleret dan Si Gembul tidak bisa dilerai. Mereka saling mendorong, mereka saling menindih, mereka sama – sama babak belur, mereka baru mau berhenti setelah Wiro Bastam memukul genderang beberapa kali.
“ Berhenti, berhenti kataku ! teriak Wiro Bastam lantang.
“ Prajurit macam apa kamu ! masalah sepele saja sudah kamu besar – besarkan. Apa jadinya negara ini kalau kamu bermental tempe,” bentak Wiro Bastam lagi.
“ Maafkan saya, Kakang, maafkan saya,” pinta Si Gembul dan Jaka Pleret bersamaan.
“ Sudah, bergabung sama teman – temanmu, malam ini kita akan berdoa bersama, minta petunjuk kepada Sang Hyang Widi. Persiapkan semua peralatannya,” sambung Wiro Bastam.
“ Baik, Kakang !” jawab mereka serentak.
Malam itu genap sudah tujuh hari tujuh malam perjalanan mereka dalam pencarian Pusaka Kyai Gobang. Namun tanda – tanda keberadaan pusaka itu belum menemukan titik terang. Wiro Bastam semakin larut dalam kesedihannya.
Tepat tengah malam mereka melakukan doa bersama di hamparan hutan maja. Kesunyian malam semakin bertambah ketika hujan turun dengan derasnya. Tangan mereka menengadah, bibir mereka komat – kamit minta petunjuk kepada Yang Maha Agung. Mereka tidak tahu harus pergi ke mana. Perjalanan satu minggu sudah melelahkan.
Bekal mereka sudah habis. Akhirnya Wiro Bastam memutuskan melakukan pencarian pusaka kerajaan seorang diri.
“ Wahai para prajurit yang gagah perkasa. Sampai disini dulu perjalanan kita mencari pusaka kerajaan. Kalian semua pulanglah ke Majapahit. Biarkan saya melanjutkan perjalanan ini. Sampaikan salam kepada Baginda Raja, saya tidak akan pulang sebelum menemukan Kyai Gobang,” kata Wiro Bastam.
“ Tidak Kakang…… tidak, kami tidak akan membiarkan Kakang sendirian menjalankan tugas negara ini. Kami pun ikut bertanggung jawab atas hilangnya Kyai Gobang,” jawab Matari.
“ Terima kasih Rayi Matari, aku bangga kepadamu, kamu adalah prajurit pilihan. Kamu bersama rekan – rekanmu harus pulang ke Majapahit. Di sana kamu sangat dibutuhkan. Saya minta kepadamu, pulanglah ke Majapahit,” sambung Wiro Bastam.
Mereka semua membisu, mereka tidak mampu membujuk Wiro Bastam. Pada akhirnya Matari bersama rekan – rekan pulang ke Majapahit. Perpisahan mereka sangat mengharukan. Dengan senyum tertahan Wiro Bastam melepas anak buahnya meninggalkan dirinya pulang ke Majapahit.
Derap kuda diiringi gemerincing suara gongseng menambah heningnya hamparan hutan maja. Suaranya sangat memilukan. Suara rengek kuda – kuda tunggangan para prajurit menyentuh hati Wiro Bastam.
“ Kuda – kuda sahabatku, bawa prajurit – prajurit handal kerajaan Majapahit kembali ke kerajaan. Selamat berpisah sahabat – sahabatku. Doakan aku bisa membawa pulang Pusaka Kyai Gobang !” gumam Wiro Bastam.
Sudah satu bulan Wiro Bastam tersesat di hutan maja. Tak pernah ia bertemu orang. Kesunyian hutan maja sudah menyatu pada dirinya. Hanya buah – buahan dan dedaunan yang bisa dimakan. Kadang – kadang saja ada kijang yang melintas dan ditangkapnya untuk dijadikan santap malam.
Dalam kesendiriannya di hutan maja Wiro Bastam semakin mendekatkan diri kepada Sang Hyang Maha Asih. Wiro Bastam memperdalam ilmu kanuragan yang ia miliki. Siang malam terus berlatih tanpa mengenal lelah. Wiro Bastam menyimpan seribu harapan untuk dapat menemukan pusaka kerajaan. Ia mengharap kemurahan Sang Hyang Akaryo Jagad untuk bisa menemukan Kyai Gobang.
Di hutan maja ini Wiro Bastam merasa dirinya berada di dunia lain. Keganjilan – keganjilan sering ia temukan. Ia sering bermimpi didatangi oleh ayah ibunyayang sudah lama meninggal. Ayah dan ibunya memanggil – manggil dirinya.
“ Bastam ……. Bastam anakku !, lanjutkan perjalanan menuju arah utara. Di sana kamu akan menemukan sungai besar. Seberangi sungai itu. Di seberang sana kamu akan menemukan kehidupanmu. Pergilah anakku ……. Pergilah ! “
Wiro Bastam berteriak – teriak memanggil ayah ibunya
“ Simbok…….. Pak e……… !”
“ Simbok…….. Pak e……… !”
Dengan melambaikan tangan ayah dan ibunya tersenyum meninggalkan Wiro Bastam. Wiro Bastam terus mengejar sambil memanggil ayah dan ibunya.
“ Simbok…….. Pak e……… !”
“ Tunggu aku Simbok ……. ! “
“ Tunggu aku Pak e ……….!”
Namun ayah dan ibunya tidak menghiraukan. Ayah dan ibu Wiro Bastam melayang menuju angkasa dan pada akhirnya menghilang diselimuti awan tebal.
Wiro Bastam tersentak dari tidurnya. “ Ternyata itu hanya mimpi,” gumam Wiro Bastam
“ Duh Gusti, isyarat apa yang tersirat dalam mimpi saya, mudah – mudahan itu bukan pertanda buruk. Ampuni segala dosa – dosa saya. Tunjukkan kepada saya yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Engkau Maha Pengasih. Selamatkan hamba-Mu yang hina ini,” pikiran Wiro Bastam berkecamuk.
Sejak peristiwa itu Wiro Bastam sering duduk melamun. Kerinduannya pada orang tuanya semakin menjadi – jadi. Ia selalu ingat akan pesan kedua orang tuanya.
“ Aku harus bisa melanjutkan perjalananku ke arah utara.” Gumamnya.
Tekat Wiro Bastam untuk meninggalkan hutan maja sudah bulat. Rencananya besok pagi sebelum matahari terbit ia akan berangkat melanjutkan perjalanan menuju arah utara. Ia berharap apa yang ada dalam mimpinya adalah pertanda baik untuk membuka lembaran kehidupannya.
Perjalanan menuju arah utara bukan perjalanan yang mudah. Semakin hari, perjalanannya semakin menemukan rintangan yang berat. Berbulan – bulan Wiro Bastam menelusuri jurang – jurang terjal. Tidak jarang ia bertemu dengan binatang – binatang buas seperti harimau, ular, dan sebagainya. Ia tidak tahu di mana ia berada. Yang ia tahu ia berada di hutan belantara gung lewang lewung, jalmo mara jalmo mati ( hutan belantara jauh dari jangkauan manusia, manusia datang akan mati di situ ).
Dalam hati ia bertanya
“ Mana sungai yang dimaksud Simbok dan Pak e?. Sudah hampir satu tahun saya berjalan ke arah utara, saya belum menemukan sungai itu.”
Hanya desiran angin yang menjawab pertanyaan Wiro Bastam.
3
Bertemu Yuyu Kangkang
Pagi itu udara sangat cerah, matahari tersenyum diantara pucuk – pucuk pohon jati yang mulai berguguran. Burung – burung prenjak menyanyi merdu menyambut pagi yang ceria. Warna kuning bunga matahari berkilau berhias embun pagi menyambut sang pengisap madu. Alangkah indahnya pagi itu.
Semalam Wiro Bastam tidur nyenyak. Hari ini ia bangun kesiangan. Tadi malam Wiro Bastam bermimpi bertemu bidadari. Dalam mimpinya seorang bidadari yang berada di taman bunga tersenyum padanya. Wiro Bastam melambaikan tangan. Bidadari itu amatlah cantik, kulitnya putih bersih, rambutnya hitam berkilau.
Tidak disadari bahwa gua tempat peristirahatannya semalam berada di tepi sungai.. Ia baru menyadari ketika deburan ombak sungai terdengar olehnya. Suara hiruk – pikuk terdengar dari dalam gua. Sadar dari itu Wiro Bastam keluar dari gua dan berjalan menuju arah datangnya suara hiruk pikuk.
Betapa terkejutnya Wiro Bastam. Ia belum percaya bahwa dirinya sudah berdiri di tepi sungai yang sarat akan kesibukan anak manusia.
“ Bermimpikah saya,” gumam Wiro Bastam.
“ Benarkah ini sungai yang dimaksud Simbok dan Pak e? “ hati Wiro Bastam berdebar.
Diambilnya air sungai dengan ke dua telapak tangannya. Ia basuh mukanya dengan air sungai itu. Rasa segar merasuki tubuhnya. Di tepuk – tepuk kedua pipinya.
“ Tidak ……. Saya tidak bermimpi, ini kenyataan. Saya sudah sampai ke sungai yang Pak e dan Mbok e maksud.”
“ Sungai yang besar sekali, airnya sangat jernih. Sebaiknya aku mandi dulu disini sebelum melanjutkan perjalanan.” Kata Wiro Bastam.
Wiro Bastam mandi sepuas – puasnya di sungai itu. Pikirannya melayang jauh di utara sungai. Ia ingat pesan ayah dan ibunya bahwa di utara sungai besar dirinya akan menemukan kehidupannya. Wiro Bastam belum memahami arti yang tersirat dalam mimpinya ketika ia masih berada di hutan maja.
Keinginannya untuk menyeberangi sungai tersebut sudah tidak dapat dibendung lagi. Tapi sungai itu sangat lebar, arusnya deras serta banyak buayanya.
“ Bagaimana aku dapat menyeberang, disini tidak ada perahu.” desah Wiro Bastam.
Berhari – hari Wiro Bastam mondar – mandir di tepi sungai. Jauh di seberang sungai tampak olehnya hamparan lembah yang subur. Pepohonan menghijau melambaikan tangan kepadanya seraya memanggil – manggil dirinya.Semakin hari semakin besar keinginan Wiro Bastam untuk dapat menyeberangi sungai.
Sore itu Wiro Bastam duduk – duduk di tepian sungai. Seekor burung merpati berwarna putih datang menghampirinya. Burung itu hinggap di atas pohon secang berduri di atas tempat batu tempatnya duduk. Wiro Bastam terkesima dengan keindahan bulu burung merpati itu. Bulunya putih bersih dan matanya redup memandangnya. Wiro Bastam menyapa burung itu.
“ Hai burung yang cantik, maukah kau menjadi sahabatku.”
Tak terdengar jawaban apa pun dari burung merpati tersebut. Hanya suara dekur burung itu yang ia dengar.
“ Wahai burung yang cantik, mungkin kamu bisa mengantar aku ke tempat penyeberangan.” Ucap Wiro Bastam lembut.
Sekali lagi burung merpati putih tidak menjawab pertanyaan Wiro Bastam. Suara dekur burung merpati semakin menderu.
Wiro Bastam mendekati burung merpati putih yang bertengger di ranting pohon secang berduri. Ia mencoba menangkap burung tersebut. Burung merpati putih menatap redup kepada Wiro Bastam. Dengan mudahnya Wiro Bastam menangkap burung merpati putih. Dielusnya bulu burung merpati dengan sepenuh hati. Burung merpati tidak berontak sama sekali.
“ Burung yang cantik, tolonglah saya, tunjukkan jalan ke tempat penyeberangan. Saya harus menyeberangi sungai ini sahabatku,” kata Wiro Bastam lembut.
“ Kur ……. Kur……..! “ burung merpati mengibas – ibaskan sayapnya.
Wiro Bastam melepaskan burung merpati itu. Burung merpati menatap Wiro Bastam kemudian terbang rendah. Wiro Bastam mengikutinya. Burung merpati terbang menuju arah barat menelusuri lembah sungai. Berhari – hari Wiro Bastam berjalan berjalan mengikuti burung merpati. Dan pada akhirnya sampailah ke suatu tempat yang ia tuju.
Ternyata di tepi sungai itu ada tempat penyeberangan. Tempat penyeberangan itu milik saudagar yang kaya raya. Saudagar itu bernama Yuyu Kangkang.
Anak buah Yuyu Kangkang banyak sekali. Mereka digaji dan harus bekerja untuk kepentingan Yuyu Kangkang. Siapa yang melanggar tak segan – segan ia gebuki.
Penyeberangan itu hanya diperuntukkan untuk kepentingan Yuyu Kangkang. Tidak semua orang boleh menyeberang di tempat itu. Kalau pun boleh mereka harus membayar upeti.
“ Kisanak bolehkah saya numpang menyeberang ? “ Wiro Bastam bertanya kepada laki – laki angker bertubuh kelam penunggu penyeberangan.
“ Ha …… ha…… ha ……. ha ………
Dasar bekunyuk edan, kamu itu sadar enggak penyeberangan ini bukan untuk umum.” Jawab laki – laki kelam itu sambil memelintir kumisnya yang tebal.
“ Maaf Kisanak tolonglah saya, saya harus menyeberang sungai ini. Izinkan saya menumpang perahu Kisanak ! “
“ Apa …….. ?
Untuk menolong kamu ?
Ha …… ha…… ha ……. ha ………!
Hai bekunyuk, dengarkan baik – baik. Hidup ini tidak ada yang gratis. Enak aja zaman gini masih minta belas kasihan.” Jawab Buta Ijo kasar.
“ Ada apa Buto Ijo ? “ tanya laki – laki seram berperut buncit.
“ Ini juragan ada orang edan, pagi – pagi sudah minta belas kasihan untuk diseberangkan.” Jawab Buto Ijo.
Ternyata laki – laki berperut buncit itu adalah Juragan Yuyu Kangkang pemilik penyeberangan. Yuyu Kangkang menyuruh Buto Ijo.
“ Buto Ijo suruh orang itu menghadap saya.”
“ Baik juragan.”
Buto Ijo menyuruh Wiro Bastam menghadap Yuyu Kangkang.
“ Silahkan duduk.” Yuyu Kangkang menyuruh Wiro Bastam duduk.
“ Terima kasih Kisanak,” jawab Wiro Bastam.
“ Betul kamu ingin menyeberang sungai, “ tanya Yuyu Kangkang.
“ Betul Kisanak tolonglah saya, izinkan saya numpang diperahu Kisanak,” sambung Wiro Bastam.
“ Ha ….. ha …… ha …… ! “
“ Boleh ….. boleh … ! tapi ada syaratnya.” Kata Yuyu Kangkang sambil melirik keris yang terselip di pinggang Wiro Bastam.
“ Apa syaratnya….. saya tidak punya apa – apa.” Sambung Wiro Bastam.
“ Kamu harus menyerahkan keris yang terselip di pinggangmu itu.” Jawab Yuyu Kangkang sambil mengelus kumisnya yang tebal.
“ Tidak ki sanak, saya tidak akan menyerahkan keris ini. Keris ini adalah satu – satunya benda yang saya miliki dan harus saya jaga baik – baik.” Jawab Wiro Bastam
Yuyu Kangkang semakin nafsu untuk memiliki keris itu. Ia yakin keris itu adalah keris bertuah. Dengan keris itu pastilah ia lebih sakti dan bisa menguasai daerah pesisir sungai. Niat jahat Yuyu Kangkang merasuki hatinya. Ia ingin merebut keris Wiro Bastam.
“ Wiro Bastam, kamu harus menyerahkan keris itu kepadaku,” kata Yuyu Kangkang.
“ Tidak Kisanak, jangan kau paksa saya,” jawab Wiro Bastam.
“ O….. o…. ini artinya kamu melawanku, Buto Ijo hajar orang ini dan rebut kerisnya ” perintah Yuyu Kangkang kepada Buto Ijo.
Buto Ijo bersama teman – temannya menghajar Wiro Bastam. Wiro Bastam tetap mempertahankan kerisnya. Perkelahian tidak dapat dihindarkan. Wiro Bastam kewalahan menghadapi anak buah Yuyu Kangkang. Wiro Bastam terenggah – enggah, namun anak buah Yuyu Kangkang terus mendesak. Perkelahian tidak seimbang itu terus berlanjut.
Dengan sisa – sisa tenaga yang masih ia miliki Wiro Bastam berusaha melumpuhkan lawannya satu persatu. Anak buah Yuyu Kangkang jatuh bergelimpangan. Di saat itulah Yuyu Kangkang maju ke depan dengan menghunus kerisnya langsung menghujamkan kerisnya ke pinggang Wiro Bastam. Darah segar mengucur dari pinggang Wiro Bastam. Wiro Bastam tidak mampu menahan rasa sakit. Wiro Bastam jatuh terkulai.
Kemarahan Yuyu Kangkang semakin menjadi ketika melihat anak buahnya bergelimpangan di tanah. Diikatnya Wiro Bastam yang masih lemah itu dengan majun kemudian dilemparkan ke sungai yang airnya deras itu.
“ Ini yang kamu minta, Wiro Bastam !
Mampus kamu ! “ kata Yuyu Kangkang geram.
Wiro Bastam yang sudah diambang maut hanyut dibawa arus deras aliran sungai. Airnya memerah, darah merah yang mengalir dari pinggang Wiro Bastam terus mengucur. Merpati putih mendekur pilu mengikuti arus sungai yang membawa Wiro Bastam. Tak tahu sampai di mana arus sungai yang deras itu mengombang – ambingkan tubuh Wiro Bastam yang sudah tak berdaya.
4
Dewi Kemuning
Awan berkabut menyelimuti puncak Gunung Wilis. Udara dingin terasa menyusup kulit ari. Angin mendesis perlahan di atas pucuk – pucuk pohon cemara. Bocah – bocah penggembala menggiring sapi menuju padang yang menghijau. Suara gemercik air grojokan terdengar merdu di antara butir – butir bebatuan. Alunan buluh perindu mendayu menyentuh kalbu.
Siang itu Dewi Kemuning ditemani oleh Nilam Anggraeni bermain di padang ilalang. Mereka menangkap kupu – kupu yang sedang bermain di pucuk – pucuk ilalang yang bunganya bermekaran. Canda ria Dewi Kemuning dan Nilam Anggraeni membawa mereka jauh masuk ke dalam hutan. Di dalam hutan tumbuh berbagai macam bunga yang sedang bermekaran. Bunganya berwarna – warni kuning, ungu, merah dan putih. Kupu – kupu beterbangan dari kuncup yang satu ke kuncup yang lain. Dewi Kemuning sangat kagum dengan pemandangan di hutan lereng Gunung Kelud.
“ Anggraeni !, betapa indahnya pemandangan di sini. Bunga – bunga bermekaran. Pohon – pohon menghijau menyejukkan hati. Aku betah di sini Anggraeni,” kata Dewi Kemuning kagum.
“ Betul Non, di sini pemandangannya sangat indah, dulu ketika saya masih tinggal di sini bersama ayah dan ibu setiap hari saya memetik bunga – bunga itu untuk di jual ke kota,” jawab Nilam Anggraeni.
“ Sungguh nikmat yang luar biasa. Yang Maha Agung menciptakan keindahan untuk bisa dinikmati oleh umat manusia, namun sayang aku harus terpisah dengan orang tuaku, Anggraeni !,” kata Dewi Kemuning dengan berkaca – kaca.
Dewi Kemuning menangis sesenggukan. Ia teringat kepada kedua orang tuanya yang sudah lama berpisah karena suatu bencana. Mereka berpisah dan Dewi Kemuning ditemukan oleh Wiro Sentanu. Dan kini mereka hidup bersama Eyang Wiro Sentanu di Padepokan Lemah Geneng. Eyang Wiro Sentanu sangat menyayangi Dewi Kemuning.
“ Sudahlah Non, Non Dewi jangan bersedih. Suatu saat Non pasti bertemu lagi dengan Ayah dan Bunda Non. Berdoalah Non, dan percayalah Ayah Bunda Non tetap mencari Non Dewi,” hibur Nilam Anggraeni.
“ Terima kasih Nilam, aku harus bersabar dan selalu berdoa suatu saat aku pasti bisa bertemu lagi dengan Ayah Bundaku. Dan aku beruntung bisa bersahabat denganmu, Nilam. Kau adalah sahabatku yang terbaik,” jawab Dewi Kemuning.
“ Udahlah Non, saya juga beruntung bisa berteman dengan gadis secantik Non dan berhati mulia,” sambung Nilam.
Mereka hanyut pada perasaan mengharukan itu, mereka tidak menyadari perjalanan mereka jauh meninggalkan padepokan. Hari sudah sore, matahari tinggal sepenggalah. Bocah – bocah penggembala sudah menggiring sapi pulang ke kandang. Dewi Kemuning dan Nilam Anggraeni mulai sadar bahwa mereka tersesat jauh ke dalam hutan.
“ Nilam, hari sudah sore kita segera pulang. Aku takut Eyang Wiro Sentanu mencariku, Nilam !” ajak Dewi Kemuning kepada Nilam Anggraeni.
“ Betul, Non ! kita segera pulang. Tapi Non, saya lupa jalan menuju padepokan.” Jawab Nilam Anggraeini ketakutan.
Hari semakin gelap, mereka tidak tahu jalan pulang menuju padepokan. Mereka menyusuri hutan itu, sampailah mereka pada bantaran sungai yang besar. Dewi Kemuning dan Nilam Anggraeni sangat bersedih, mereka takut tetapi mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya ke dua gadis jelita itu bermalam di pinggir sungai yang airnya mengalir deras.
Dewi Kemuning tidak bisa memejamkan mata, rasa kantuk tak datang jua. Dia lewati malam yang penuh bintang itu dengan kesedihan hatinya. Sementara Nilam Anggraeni tidur dengan pulasnya. Dipandangilah Nilam Anggraeni, rasa bersalah telah mengajak Nilam bermain di padang ilalang yang akhirnya membawa mereka terdampar di pinggir sungai yang jauh dari padepokan.
Di saat Dewi Kemuning sedang menyesali apa yang telah ia lakukan, tiba – tiba sayup – sayup terdengar suara rintihan orang yang sedang kesakitan.
“ Aduh …… sakit sekali. Di mana aku ini, badanku sakit sekali. Aduh ….. pedihnya,” suara itu memecah keheningan.
Dewi Kemuning mengendap – endap di kegelapan malam mencari datangnya suara itu, betapa terkejutnya ketika di dapati ada seorang pemuda tergolek lemah menggerang kesakitan tersangkut di rerimbunan pohon bakung di pinggiran sungai. Dewi Kemuning menjerit memanggil Nilam Anggraeni.
“ Nilam …..!
Tolong Nilam, ada orang hanyut di sungai.
Tolong Nilam….. ! “
Nilam Anggraeni terkejut mendengar teriakan Dewi Kemuning. Nilam melompat mencari Dewi kemuning.
“ Ada apa Non Dewi ?
Non di mana ? “
“ Di sini Nilam, aku di sini.
Di sini ada orang terhanyut.”
Dewi Kemuning dan Nilam Anggraeni menolong pemuda yang tersangkut di rerimbunan pohon bakung itu. Diangkatnya tubuh laki – laki itu. Laki – laki itu belum sadarkan diri. Matanya terkatup rapat, tubuhnya lunglai. Hanya bibirnya saja yang masih mengeluarkan erang kesakitan.
Dewi Kemuning dan Nilam Anggraeni memberikan pertolongan sebisanya. Dewi Kemuning membersihkan luka yang menganga di dada pemuda itu dengan kain selendangnya. Dengan cekatan Dewi Kemuning memetik daun – daun yang ada di sekitarnya dan ditumbuk kemudian dibalurkan pada luka yang masih mengeluarkan darah. Pemuda itu menggerang kesakitan.
“ Sabar ki sanak, lukamu akan aku bersihkan.
Bertahanlah ki sanak, agar lukamu lekas sembuh.”
Berhari – hari Dewi Kemuning merawat pemuda yang ternyata bernama Wiro Bastam. Luka Wiro Bastam mulai mengering. Wiro Bastam berhutang budi kepada Dewi Kemuning yang telah merawatnya dengan baik.
“ Terima kasih gadis cantik, kau telah merawatku.
Aku tidak akan melupakan jasamu
Namaku Wiro Bastam
Siapa namamu ?” Wiro Bastam bertanya.
“ Sama – sama
Namaku Dewi Kemuning,” jawab Dewi Kemuning sambil menundukkan kepala.
Ada getar yang tidak pernah dirasakan Dewi Kemuning saat menatap sorot mata Wiro Bastam.
“ Nama yang cantik, secantik orangnya,” jawab Wiro Bastam tulus.
Sudah hampir satu bulan Dewi Kemuning dan Nilam Anggraeni hilang. Padepokan Lemah Geneng geger cucu kesayangan Wiro Sentanu diculik orang, begitu berita burung yang dihembuskan angin. Murid padepokan dikerahkan untuk mencari ke dua gadis jelita itu. Mereka mengadakan penyisiran daerah yang diperkirakan sebagai tempat segerombol penculik yang telah menculik Dewi Kemuning. Penyisiran dilakukan sampai ke pesisir Sungai Brantas.
Pada hari ke tiga murid padepokan menemukan Dewi Kemuning dan Nilam Anggraeni. Mereka sangat marah karena ternyata ke dua gadis cantik tersebut bersama seorang pemuda tampan jalannya terseok – seok.
“ Kamu ternyata, penculiknya.”
Tanpa basa – basi Si Markun murid Padepokan Lemah Geneng yang terkenal garang itu mengahajar Wiro Bastam habis – habisan.
Wiro Bastam tidak melawan, selain badannya masih lemah, Wiro Bastam merasa tidak ada gunanya melawan Markun. Wiro Bastam hanya mempertahankan diri.
“ Berhenti ……
Berhenti kataku, “ kata Nilam
Kamu jangan konyol Markun
Tidak seharusnya kamu bertindak edan seperti itu,” lanjut Nilam.
“ Betul kata Nilam, Markun !
Kita tidak boleh gegabah dan ceroboh, sebelum kita tahu permasalahannya,” Dewi Kemuning menasehati.
“ He …… kamu Nilam !
Dan kau juga Non Dewi.
Aku tidak mengerti. Kalian itu wanita macam apa ?
Sudah diculik ….. sekarang lengket ama penculiknya.
Apakah kalian sudah tidak punya harga diri.
Dasar wanita jalang ….. ! “ bentak Markun dengan geram.
“ He ….. kamu Markun, jangan ngomong sembarangan !
Hadapi aku ! “ tantang Nilam Anggraeni.
Kedua murid Padepokan Lemah Geneng itu saling menyerang.
“ Berhenti …… aku mohon dihentikan. Semua salah paham.
Tidak begitu ceritanya, Markun ! “ jerit Dewi Kemuning.
Mereka menghentikan pertarungannya. Dewi Kemuning menceritakan semua kejadian. Akhirnya Markun menyadari bahwa dirinya terlalu emosi dan minta maaf atas semua kesalahpahaman itu. Mereka saling berjabat tangan, dan bersama – sama pulang menuju padepokan. Wiro Bastam ikut serta dalam rombongan Dewi Kemuning pulang menemui Wiro Sentanu.
5
Padepokan Lemah Geneng
Wiro Sentanu bernapas lega, cucu satu – satunya telah kembali dalam keadaan sehat tak kurang suatu apapun. Sebulan ditinggal Dewi Kemuning serasa setahun. Dewi Kemuninglah yang biasanya membersihkan padepokan dan memasak sehari – hari.
Dibangunkannya Dewi Kemuning dengan kasih sayang.
“ Dewi bangun Dewi ! hari telah pagi.
Tuh dengar ayam jantan sudah berkokok tandanya seorang perawan harus segera bangun.”
“ Hu ….. Kakek, mengganggu orang tidur saja.
Sebentar Kek, masih ngantuk,” jawabnya manja.
“ Lo…. Seorang gadis bangunnya tidak boleh kedahuluan matahari.
Nanti kalau ada jejaka melamar balik jalan lho. Tu lihat Wiro Bastam sudah berlatih,” goda Eyang Wiro Sentanu.
Disebut nama Wiro Bastam, Dewi Kemuning semakin kelabakan. Ingin rasanya ia bangun terus berlatih bersamanya. Namun ia tidak melakukan hal itu. Dewi bangun terus melakukan kegiatan di dapur. Memasak air, membuatkan segelas wedang jahe untuk Eyang Sentanu.
Di luar sana murid – murid padepokan sudah berlatih. Mereka berlari – lari menyusuri semak – semak belukar. Wiro Bastam juga tidak ketinggalan. Kemudian mereka berkumpul di tanah lapang di hamparan rumput hijau.
“ Wiro Bastam ! “ panggil Eyang Sentanu.
“ Saya Eyang ! “ jawab Wiro Bastam sopan.
“ Mulai hari ini kamu harus lebih giat berlatih. Tugas yang kamu pikul amat berat, oleh sebab itu kau harus menjadi pemuda yang sakti mandraguna biar kamu bisa merebut pusaka Kyai Gobang dari para penjahat.”
“ Terima kasih Eyang, saya akan terus berlatih,” jawabnya.
Siang malam Eyang Sentanu mengajarkan jurus – jurus handalnya kepada Wiro Bastam. Wiro Bastam memang pemuda yang cerdas, jurus – jurus yang diajarkan dapat dikuasai dengan baik. Hal ini membuat iri murid – murid yang lain, terutama Markun dan Adiguna.
“ Adik Adiguna, sejak kedatangan Wiro Bastam sikap guru berubah kepada kita,” kata Markun.
“ Betul Kakang, aku jadi muak melihat Wiro Bastam. Bagaimana kalau kita singkirkan sebelum semuanya bertambah kacau,” jawab Adiguna geram.
“ Itu ide yang bagus.
Kapan itu kita lakukan, “ sambung Markun.
“ Semakin cepat semakin baik,” tambah Adiguna.
Sejak kedatangan Wiro Bastam Padepokan Lemah Geneng menjadi semarak. Namun beberapa murid padepokan tidak menyukai Wiro Bastam. Wiro Bastam tetap tegar walaupun kadang – kadang diperlakukan tidak adil oleh teman – teman seperguruannya.
Pada suatu hari Eyang Sentanu memanggil Wiro Bastam ke kediamannya untuk bicara empat mata. Wiro Bastam memenuhi undangan Eyang Sentanu dengan hati berdebar.
“ Wiro Bastam, aku sengaja memanggilmu. Ada suatu hal yang harus aku sampaikan kepadamu. Aku sudah tua Wiro. Aku merasa sudah tidak mampu lagi memimpin perguruan ini. Oleh sebab itu aku memanggilmu ! “
“ Apa yang bisa saya lakukan dengan padepokan ini Eyang. Sehingga Eyang memanggil saya.” Jawab Wiro Bastam penuh hormat.
“ Ha….. ha…. Banyak.
Banyak Wiro…… banyak yang harus kamu lakukan.”
“ Kau harus lebih giat berlatih dan lebih mendekatkan diri kepada Yang Akaryo Jagad. Kau harus menjadi pemuda yang sakti mandraguna. Aku serahkan kepadamu padepokan ini, pimpinlah padepokan ini, Wiro,” kata Eyang Wiro Sentanu.
“ Eyang, itu tanggung jawab yang tidak ringan.
Apakah, saya mampu mengemban tanggung jawab itu, Eyang.” Jawab Wiro Bastam.
“ Saya yakin kamu mampu.
Dan satu permintaan saya kepadamu.
Aku titipkan Dewi Kemuning kepadamu.” Sambung Wiro Sentanu.
Wiro Bastam tidak mampu menjawab permintaan Eyang Wiro Sentanu. Wajahnya tertunduk, bibirnya terkatup rapat tak sepatah kata pun mampu ia ucapkan. Pikiran Wiro Bastam berkecamuk ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Tak lama dari kejadian itu Eyang Wiro Sentanu sakit dan pada akhirnya meninggal dunia. Dewi Kemuning meratapi kepergian Eyang sentanu. Berbulan – bulan Dewi Kemuning mengurung diri dalam padepopan. Badannya semakin kurus dan pucat karena tidak terawat.
Wiro Bastam merasa iba melihat kesedihan Dewi Kemuning. Ingin rasanya ia membawa Dewi Kemuning pergi dan menjadikannya seorang istri. Keinginan itu disampaikannya kepada Dewi Kemuning. Dewi Kemuning tidak mampu menjawab pertanyaan Wiro Bastam. Hanya anggukan kepala pertanda Dewi Kemuning setuju.
Tanpa adanya pesta Wiro Bastam dan Dewi Kemuning duduk bersanding. Mereka hidup berbahagia sebagai suami istri.
6
Hidup Bahagia
Wiro Bastam dan Dewi Kemuning hidup bahagia. Wiro Bastam lupa akan tugas yang diemban. Ia larut dalam kebahagiaan bersama Dewi Kemuning. Perkawinan Wiro Bastam dan Dewi Kemuning genap satu tahun, mereka telah dikaruniai seorang anak. Anak terssebut lahir seorang laki – laki, Wiro Bastam memberi nama anaknya Jaka Welas.
Jaka Welas tumbuh dengan cepat. Kemuning sangat menyayangi anaknya demikian juga Wiro Bastam. Wiro Bastam berharap Jaka Welas di kemudian haritumbuh menjadi pemuda yang gagah perkasa.
Perguruan Lemah Geneng semakin berkembang, daerah sekitar padepokan digarap menjadi lahan pertanian. Murid – murid padepokan bekerja keras menggarap sawah. Hasil padi melimpah. Sayur – sayuran tumbuh dengan subur. Penduduk tidak kekurangan sandang pangan.
Dewi Kemuning tak jarang pergi ke sawah mengantar makanan dan minuman. Jaka Welas diajak juga. Betapa bahagianya mereka.
Semilir angin sawah yang segar itu mengibas – ibaskan rambut Dewi Kemuning yang panjang teruai. Burung – burung emprit menyambut senandung yang ditembangkan Dewi Kemuning.
“ Pancen nyata
Bumi kita ing sa nusantara gemah ripah
Loh jinawi
Kerta raharja, thukul tan tinandur
Dasar banyune
Tansah ajeg lumintu iline
Ya nyatane
Ketiga, rendheng
Banyune cukup nggo ngelepi sawah
Nyata agung sumberre
Janji gelem tandang gawe
Anggarap sawahe, ora suwe
Bakal ngundhuh, asile bumi
Nyata murakape
Mas …. ya mas …. ya ben
Janji kopen
Rasa risi, aja risi
Anggere kajen.
Betapa bahagianya mereka. Hasil panen melimpah. Mereka bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari. Mereka bekerja dengan sambil tetembangan. Jaka Welas berlari – lari di antara rerimbunan pohon jagung. Dewi Kemuning mengejar anaknya dengan canda ria. Baru sore hari ketika matahari tinggal sepenggalah barulah mereka pulang ke rumah.
Kebahagian Wiro Bastam dan Dewi Kemuning bertambah katika lahir anaknya yang ke dua. Lengkaplah kebahagiaan itu. Dewi Kemuning melahirkan anak perempuan yang cantik. Kulitnya putih dan halus, bibirnya merah merekah. Anak perempuan Wiro Bastam diberi nama Ni Wilis.
Kedua anak Wiro Bastam tumbuh dengan baik. Mereka lucu – lucu. Jaka Welas tumbuh menjadi anak yang tampan dan Ni Wilis tumbuh menjadi anak yang cantik. Kedua anak tersebut merupakan harta yang tidak ternilai bagi Wiro Bastam dan Dewi Kemuning. Hari – harinya diwarnai kebahagiaan dan canda tawa.
7
Mendung di atas Gunung Wilis
Hari belum begitu siang. Matahari belum menampakkan wajahnya kepermukaan bumi. Kabut menyelimuti pucuk – pucuk cemara yang mulai meranggas. Suara isak tangis terdengar pilu dari rumah Wiro Bastam.
“ Bunda ….. jangan tinggalkan Welas, Bunda “
“ Hu … Hu …. Bunda…… jangan tinggalkan Welas ! “
“ Bangun Bunda ….. bangun.” Ke dua anak Wiro Bastam menangis meratapi kepergian Dewi Kemuning.
Untung tidak bisa diraih, malang tidak bisa ditolak. Itulah yang menimpa Wiro Bastam. Di saat anak – anaknya membutuhkan kasing sayang seorang ibu, istri Wiro Bastam menghadap Sang Yang Murbeng Dumadi. Wiro Bastam harus menerima kenyataan itu dengan sabar. Wiro Bastam harus membesarkan anak – anaknya seorang diri.
Ke dua anak Wiro Bastam mempunyai sifat yang sangat berbeda. Jaka Welas mempunyai sifat penyayang, sabar dan tidak sombong. Sedangkan Ni Wilis mempunyai sifat pemarah, congkak dan sombong. Itulah yang membuat Wiro Bastam berhati – hati dalam mendidik anak – anaknya.
Siang dan malam Wiro Bastam bekerja seorang diri untuk dapat membesarkan anak – anaknya. Ia harus memasak, mencuci dan menyiapkan keperluan anak – anaknya. Tak jarang Ni Wilis tidak mau makan karena makanannya tidak cocok. Dengan sabar Wiro Bastam membujuknya.
“ Wilis … ! Wilis harus makan Nak !
Wilis harus makan yang banyak biar cepat besar.”
“ Tidak …. ! Wilis tidak mau makan.” Jawabnya sambil membuang nasi yang sudah dihidangkan oleh ayahnya.
Lain halnya dengan Jaka Welas. Jaka Welas selalu menurut kepada ayahnya. Kadang – kadang Jaka Welas membujuk adiknya supaya menurut kepada ayahnya dan tidak sombong serta congkak. Tetapi Ni Wilis tak pernah menghiraukan. Dengan congkaknya ia mendamprat kakaknya.
“ He ….hh ! Kakang jangan sok ngatur, saya nggak perlu kau nasehati. Saya jadi ragu Kakang Jaka Welas itu laki – laki apa perempuan. Kalau laki – laki kok sok nurut.
Huh…… dasar banci gak punya nyali.”
Jaka Welas selalu sabar dalam menghadapi tingkah laku adiknya. Jaka Welas sangat menyayangi adiknya.Walaupun adiknya tidak peduli, namun Jaka Welas selalu memperhatikan Ni Wilis adik satu – satunya.
Bersamaan dengan berjalannya waktu Jaka Welas dan Ni Wilis beranjak memasuki masa remaja. Jaka Welas tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah perkasa, sedangkan Ni Wilis tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita, kulitnya putih bersih, rambutnya hitam terurai, matanya tajam bagai burung elang yang siap menerkam mangsa. Perbedaan yang sangat menyolok antara Jaka Wilis dan Ni Wilis. Jaka Welas pemuda tampan yang penyabar sedangkan Ni Wilis gadis cantik yang gesit dan pemarah.
Wiro Bastam tak bosan – bosan membekali anak – anaknya dengan ilmu kanuragan dan ilmu kehidupan. Wiro Bastam semakin mendekatkan diri kepada Gusti Kang Maha Agung ia berharap anak – anaknya tidak mengalami penderitaan seperti yang ia alami.
Matanya menerawang jauh ke atas puncak Gunung Wilis. Bayangan istrinya mengusik kesendiriannya.
“ Kakang….. janganlah kau bersedih.
Usaplah air matamu Kang.
Aku tak tega melihat Kakang bersedih.
Aku bahagia, melihat anak – anak kita Kang.” Bisik Dewi Kemuning.
“ Dewi Kemuning…..
Terima kasih Dewi….. terima kasih, kau telah memberikan anak kepadaku, pemuda tampan dan gadis cantik. Maafkan aku Dewi…. Aku tak bisa menjagamu,” jawab Wiro Bastam lirih.
“ Kakang…. anak – anak kita sudah dewasa. Biarkan mereka menemukan hidupnya. Perintahkan kepada mereka untuk melanjutkan perjuanganmu mencari Pusaka Kerajaan Kyani Gobang,” pesan Dewi Kemuning.
“ Tidak ….. Dewi !
Jangan paksa anak – anak kita mencari pusaka kerajaan
Tidak ….. Dewi ….. tidak !
Jangan pisahkan aku dengan anak – anakmu ! “
Jangan Dewi ….. jangan ….. !” teriak Wiro Bastam.
Teriakan Wiro Bastam membangunkan Ni Wilis. Ni Wilis membangunkan ayahnya.
“ Ayah….. bangun ayah.
Bangun yah….. bangun.”
Wiro Bastam tersentak kaget. Ternyata ia baru mimpi. Mimpi bertemu dengan Dewi Kemuning, istrinya yang telah lama meninggalkannya untuk menghadap Sang Hyang Widi. Ia baru sadar bahwa apa yang telah dipesankan oleh Dewi Kemuning hanyalah mimpi.
Sejak saat itu Wiro Bastam suka menyendiri, bayangan istrinya selalu hadir menghantui hidupnya. Rasa rindu itu semakin membelenggu, ingin rasanya ia menyusul istrinya yang sudah pergi. Kesedihan itu tidak bisa ia tutupi. Ia tak mampu menyimpan kepedihan hatinya.
Untuk mengusir rasa sedih itu Wiro Bastam sering menyendiri di puncak Gunung wilis, bersemedi mengharap petunjuk kepada Yang Maha Kuasa. Dalam kesendiriannya yang terpikirkan hanya nasib masa depan ke dua anaknya. Anaknya yang sudah menginjak dewasa harus meninggalkan Gunung Wilis dan mengabdikan diri ke kerajaan Majapahit.
8
Geger di Hutan Maja
Malam semakin sunyi, udara dingin lereng Gunung Wilis semakin nyelekut. Selimut tebal tak mampu mengusir rasa dingin itu. Wiro Bastam menyalakan perapian untuk menghangatkan badannya. Dipandanginya ke dua anaknya yang sudah tertidur dengan pulasnya. Tak tega rasanya ia menyampaikan keinginannya untuk ke dua anaknya.
“ Jaka Welas dan Ni Wilis kau harus pergi anakku. Kau harus meninggalkan lereng Gunung Wilis, lanjutkan perjuangan ayah untuk mencari Kyai Gobang,” bisik Wiro Bastam lirih.
Tak terasa butiran perak itu menggelinding di pipinya yang mulai keriput. Wiro Bastam menangis, berat rasanya ia berpisah dengan ke dua anaknya. Sebagai panglima kerajaan ia harus mengusir rasa itudemi kepentingan negara dan masa depan anaknya, ia harus tega melepas ke dua anaknya.
Malam itu juga Wiro Bastam membangunkan Jaka Welas dan Ni Wilis.
“ Jaka Welas ….. bangun anakku !
Ni Wilis …. Bangun anakku ! “
Ni Wilis menggeliat, ia tak segera bangun. Rasa dingin malam itu membuat enggan untuk bangun tidur. Sekali lagi Wiro Bastam membangunkan anaknya.
“ Welas ….. Wilis …… bangun Welas ….. bangun Wilis ! “
Jaka Welas dan Ni Wilis bangun. Mereka merasa heran mengapa di tengah malam yang dingin itu ayahnya membangunkan mereka. Mereka bertanya pada ayahnya.
“ Ada apa ayah, malam – malam ayah membangunkan kami ?”
“ Dengarkan anakku, ada yang harus ayah sampaikan kepada kalian berdua.”
“ Welas dan Wilis, kalian sudah dewasa, sudah saatnya kalian menentukan jalan hidup kalian. Waktunya kalian mengabdi ke Kerajaan Majapahit. Berangkatlah anakku. Berangkatlah menghadap Baginda Raja,” kata Wiro Bastam.
“ Baik ayah.
Kalau itu perintah ayah, kami akan melaksanakan,” jawab Jaka Welas penuh hormat.
“ Bagus Jaka Welas, bundamu akan bahagia di sana setelah melihat kau dan Wilis berhasil,” sambung Wiro Bastam.
“ Ayah…. ! apa yang bisa kami lakukan untuk bisa menghadap Baginda Raja,” tanya Ni Wilis.
“ Anakku …. sebelum kalian menghadap Baginda Raja, kalian harus dapat menemukan Tombak Kyai Gobang yang telah hilang. Itu syarat utama untuk dapat menghadap Baginda Raja.
Tapi ingat jangan sekali – kali kalian bertengkar.
Kau harus rukun dan saling menghormati.
Pertengkaran dan kecongkakan akan berakibat buruk bagi kalian berdua.” Jawab Wiro Bastam.
“ Baik ayah…..
Kami mohon doa restu.” Sambung Jaka Welas dan Ni Wilis.
“ Berangkatlah anakku
Doaku menyertai kepergianmu.”
Berangkatlah Jaka welas dan ni wilis mencari Tombak Kyai Gobang. Mereka membawa bekal secukupnya. Dipilihnya kuda tunggangan yang gagah perkasa untuk menemani perjalanan menyusuri belantara.
Belantara demi belantara mereka susuri. Mereka tanpa mengenal lelah. Namun pencarian yang dilakukan Jaka Welas dan Ni Wilis belum membuahkan hasil. Sampailah mereka di rerimbunan pohon kayu putih. Ni Wilis merasa mengantuk sekali. Ia meminta kepada kakaknya untuk istirahat sejenak
“ Kakang Jaka ….. aku lelah sekali, kita istirahat sebentar Kang.”
“ Baiklah Ni Wilis, kita istirahat di sini dulu,” jawab Jaka Welas dengan rasa sayang pada adiknya.
Mereka beristirahat di bawah rerimbunan hutan pohon minyak kayu putih. Udara siang itu bertiup sepoi – sepoi, menambah rasa kantuk itu semakin menjadi. Ni Wilis tidur dengan pulasnya. Jaka Welas menjaga adiknya dengan rasa iba. Gadis secantik Ni Wilis harus keluar masuk hutan.
Setelah beberapa lama istirahat hilanglah rasa penat itu. Jaka Welas dan Ni Wilis melanjutkan perjalanan. Tak jauh dari tempat itu ada sebuah sumur. Ni Wilis sangat penasaran. Ia yakin bahwa Pusaka Kyai Gobang ada dalam sumur itu.
“ Kakang Jaka, saya yakin Pusaka Kyai Gobang ada di dalam sumur ini.
Saya harus masuk ke dalam sumur ini Kakang,” kata Ni Wilis.
“ Jangan adikku, itu sangat berbahaya.
Sumur ini sangat dalam kelihatannya.
Saya tidak mau kau celaka,” jawab Jaka Welas.
“ Kakang Jaka jangan jadi pengecut !.
Untuk apa kita keluar masuk hutan, kalau kakang takut menghadapi bahaya,” sambung Ni Wilis.
“ Udah ….. kalau Kakang Jaka tidak berani, biar saya yang masuk ke dalam sumur.
Ni Wilis masuk ke dalam sumur. Jaka Welas tercengang melihat adiknya nekat masuk ke dalam sumur. Tiba – tiba Ni Wilis menjerit minta pertolongan.
“ Tolong ….. tolong, Kakang Jaka !
Badanku panas dan pedih sekali, Kakang !
Tolong Kakang, panas …. Panas sekali Kakang ! “
Jaka Welas berusaha mengeluarkan adiknya dari dalam sumur. Dengan sekuat tenaga Jaka Welas berhasil mengeluarkan Ni Wilis dari dalam sumur itu. Betapa terkejutnya seluruh badan Ni Wilis tumbuh bintik – bintik putih seperti kena sakit kudis. Ni Wilis merintih menyayat hati.
“ Kakang… aku tidak kuat lagi Kakang.
Hu ….. hu ….. !
Sakit Kakang…..
Sakit sekali rasanya ! “
“ Sabar Ni Wilis, bersabarlah,” hibur Jaka Welas.
Dengan sabar Jaka Welas merawat adiknya. Mereka tidak jadi melanjutkan perjalanan. Sekujur tubuh Ni Wilis penuh bercak – bercak putih. Semenjak saat itu nama Ni Wilis diganti menjadi Ni Blorok, karena sekujur tubuhnya dipenuhi dengan bintik – bintik putih seperti ayam blorok.
Setelah keadaan Ni Wilis betul – betul sudah pulih dan sehat kembali, mereka melanjutkan perjalanan mencari Pusaka Kyai Gobang. Sampailah mereka di hutan yang ditumbuhi pohon maja. Hutan itu kelihatan angker dan menyeramkan.
Jaka Welas ingat akan pesan ayahnya supaya tidak memasuki hutan maja. Menurut ayahnya hutan maja sangat berbahaya. Hutan maja adalah hutan larangan, jalmo moro jalmo mati.
Lain halnya dengan Ni Wilis, ia bertekat memasuki kawasan yang dilarang itu. Ia merasa tertantang dengan pesan ayahnya. Di situlah kakak beradik Jaka Welas dan Ni Wilis berselisih paham. Ni Wilis yang keras kepala tidak mau mendengarkan nasehat kakaknya.
“ Wilis adikku, dengarkan nasehatku.
Saya minta jangan masuk hutan larangan ini adikku.
Itu berbahaya, ingat pesan ayah, Wilis ! “
“ Kakang…. sekali lagi aku katakan kepadamu, Kakang !
Jangan jadi pengecut.
Dasar mental tempe, muak aku mendengarnya.” Jawabnya ketus.
“ Jangan adikku….. jangan !
Ingatlah pesan ayah.
Kita tidak boleh masuk hutan maja.” Jaka Welas menyadarkan adiknya.
“ Tidak Kakang ! Jangan harap aku menurut nasehat Kakang. Apa pun yang terjadi aku harus masuk ke hutan maja. Kalau Kakang tidak punya nyali…… itu terserah, biarkan saya masuk sendiri,” tantang Ni Wilis.
Maka terjadilah pertengkaran antara Jaka Welas dan Ni Wilis. Jaka Welas tetap melarang Ni Wilis untuk tidak memasuki hutan maja.
Merasa dihalangi niatnya Ni Wilis naik pitam, dihajarnya Jaka Welas habis – habisan. Pada awalnya Jaka Welas tidak melawan tapi pada akhirnya perkelaian hebat tidak dapat dihindarkan. Perkelaian satu lawan satu. Mereka sama – sama kuat. Mereka saling menghajar, mereka sama – sama tidak mau mengalah, mereka lupa daratan.
Ni Wilis membabi buta, ia menghajar kakaknya dengan jurus – jurus andalannya. Semua yang ada di sekitar tempat itu luluh lantak. Pohon – pohon tumbang rata dengan tanah. Suara gemuruh terdengar dari hutan maja. Pertarungan hebat itu menggegerkan daerah sekitar hutan maja.
Sementara itu Wiro Bastam yang sedang bersemedi di Puncak Gunung Wilis merasa ada kekuatan gaib. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi dengan ke dua anaknya yang sedang berkelana. Wiro Bastam berangkat menyusul anaknya yang sedang mencari Pusaka Kerajaan Tombak Kyai Gobang.
Betapa terkejutnya Wiro Bastam, di hamparan hutan maja itu tengah terjadi perkelaian hebat. Ni Wilis dengan sombongnya menghajar Jaka Welas dengan habis – habisnya. Demikian juga Jaka Welas mengimbangi serangan Ni Wilis tidak kalah hebatnya. Suara tombak berdencing di angkasa.
Dengan suara lantang penuh dengan kemarahan Wiro Bastam menghentikan perkelaian ke dua anaknya.
“ Berhenti ….. !”
“ Berhenti kataku ! “
“ Hai Welas dan Wilis ada apa dengan kalian.”
“ Aku tidak menyangka kalian sepicik itu ! “
Kedua anak Wiro Bastam membisu seribu bahasa. Mereka tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Wiro Bastam semakin marah melihat tingkah anaknya. Dengan geramnya dibentaknya Jaka Welas dan Ni Wilis.
“ Hai Welas dan Wilis, tidak dengarkah kalian.”
Jaka Welas dan Ni Wilis tetap membisu.
“ Jawab Welas ! Jawab kataku ! “
“ Jawab Wilis, jangan membisu ! “ wajah Wiro Bastam merah padam.
“ Kalian memang anak yang tak tahu diri ”
“ Ayah menyesal dengan sikap kalian “
“ Bundamu pasti sedih melihat tingkah laku kalian “
“ Dasar dablek…… kepala batu,”
“ Kalian memang seperti batu.” Wiro Bastam benar – benar sudah tidak bisa menahan emosi, karena sikap ke dua anaknya.
Betapa terkejutnya Wiro Bastam, bersamaan dengan itu tiba – tiba matahari padam seketika, bumi berguncang hebat, suara petir menggelegar membelah angkasa, hujan turun dengan derasnya. Jeritan pilu Ni Wilis menyayat hati.
“ Ayah …… ! “
“ Ma …… afkan Blorok, ayah …… ! “
Seketika itu pula Ni Wilis dan Jaka Welas berubah wujud. Mereka berubah menjadi batu.
Wiro Bastam menangisi ke dua anaknya.
“ Tidak ….. ! ‘
“ Tidak Welas …. ! “
“ Tidak Wilis ….. ! “
“ Jangan tinggalkan ayah, anakku ! “
“ Jangan Welas ….. jangan ! “
“ Jangan Wilis …… jangan ! “
“ Kembalilah anakku….. kembalilah ! “ ratap Wiro Bastam mengiringi kepergian Jaka Welas dan Ni Blorok. Namun Jaka Welas dan Ni Blorok tidak bisa berubah lagi. Mereka tetap menjadi batu yang diam untuk selama – lamanya.
Wiro Bastam tidak menyangka akan terjadi musibah terhadap ke dua anaknya. Wiro Bastam menyesal dengan apa yang terjadi, apa yang ia ucapkan ternyata menjadi kutukan bagi ke dua anaknya. Namun semua sudah terlambat, semua sudah terlanjur, nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan kemudian tiada guna.
Setiap malam Wiro Bastam bersimpuh di samping batu penjelmaan Ni Blorok. Wiro Bastam berdoa untuk ke dua anaknya, memohonkan ampun atas segala kesalahannya. Wiro Bastam merasa bersalah, ia merasa tidak bisa mendidik ke dua anaknya. Kesalahan itu menjadikan penyesalan seumur hidupnya.
Kini Wiro Bastam hidup sendiri. Tiada istri, tiada anak, tiada saudara. Sehari – hari yang ia lakukan hanyalah mengabdikan diri sebagai hamba Allah untuk menebus segala kesalahannya. Disaat hatinya sedang rindu kepada ke dua anaknya Wiro Bastam selalu hadir di tempat ke dua anaknya menjelma menjadi batu. Sekelebat bayangan gadis cantik melintas dihadapannya. Wiro Bastam tersentak kaget. Bayangan itu seakan melambaikan tangan kepadanya. Untuk mengenang kepergian anaknya Wiro Bastam menamakan tempat yang bersejarah itu dengan nama “ Watu Blorok “.
Watu Blorok sampai sekarang masih ada, tak jauh dari tempat itu ada sebuah sumur tua yang kabarnya diberi nama “ Sumur Upas “. Ke dua tempat itu berada di rerimbunan hutan pohon kayu putih tepatnya di perbukitan antara Kecamatan Jetis dan Kecamatan Dawarblandong Mojokerto Jawa Timur.
Jaman semakin maju, jalan menuju kawasan “ Watu Blorok “ sudah beraspal. Sekarang tempat itu sering dijadikan tujuan wisata lokal di rerimbunan hutan kayu putih yang udaranya masih segar bersih dari polusi.
Ada sebagian masyarakat yang masih meyakini bahwa “ Watu Blorok “ menyimpan misteri. Watu Blorok tempat yang Wingit. Terlepas dari rasa percaya dan tidak, di tempat itu sering adanya penampakan sekelebat wanita cantik berambut panjang terurai, berdiri di pinggir jalan menunggu seseorang. Penampakan gadis cantik berambut panjang di malam hari menjadi fenomena masyarakat sekitar Watu Blorok.
Gadis cantik berambut panjang itu diyakini jelmaan Ni Blorok atau Ni Wilis. Bayangan gadis cantik itu sering nampak di malam hari, terutama pada malam bulan purnama.
Sekian Terima Kasih.
Menyingkap Tirai Pusaka Tombak Kyai Gobang
Legenda Watu Blorok
Angin mendesis perlahan, menari di hamparan ilalang yang mengering. Suara jangkerik memecah keheningan malam. Sekelebat bayangan wanita cantik berambut panjang melintas di antara redup sinar bulan purnama. Suara lolong anjing menambah angker suasana perbukitan Watu Blorok.
Watu Blorok adalah nama suatu tempat yang berada di daerah Kabupaten Mojokerto kawasan utara Sungai Brantas, tepatnya di perbukitan hutan kayu putih antara Jetis dan Dawarblandong. Watu Blorok menyimpan misteri yang masih diyakini oleh masyarakat sekitarnya.
Fenomena Watu Blorok sering mengundang pertanyaan. Penampakan sosok wanita cantik berambut panjang di malam bulan purnama menjadi teka – teki yang tak pernah terjawabkan. Hanya merekalah yang percaya yang dapat menjawab teka – teki fenomena keganjilan Watu Blorok.
Siapa sebenarnya wanita cantik yang berambut panjang penghuni Watu Blorok tersebut ?
Semua adalah misteri.
Tak mampu manusia biasa menyingkapnya.
Tirai itu tertutup oleh kabut merah jingga.
Percaya enggak percaya.. Tapi aku suka banget sama alur critanya.!☺.kereeeeen...
BalasHapus