The Alien

Cerpen Singkat ( Dialog ) "Cinta sebatas Internet"

| Sabtu, 03 Mei 2014
CINTA SEBATAS INTERNET


Ini mungkin hanya akan menjadi kisah cinta yang terdengar biasa, ketika dua orang yang saling tak mengenal, mencoba bertukar senyum, namun tanpa disadari mereka akhirnya berusaha untuk memperjuangkan hal tersebut menjadi sesuatu perjalanan cinta.

Tapi.. sayangnya, dalam sebuah cerita cinta, harus selalu ada yang terluka.

Antara secangkir Coffie dan tatapan singkat.

Awal bulan, Lidya berniat meminjam beberapa novel dari toko buku langganannya, Sreetbook. Dia masih ingat, kapan terakhir ia berkunjung kemari. Saat itu, seorang Pria menjemputnya setelah menunggu sekian lama karena terjebak hujan yang turun tanpa jeda. Pria tersebut membawa payung berwarna biru tua, menerobos hujan dengan senyum yang terpasang manis.

"Hai.." Sapa dia, menatap dalam-dalam mata gadis di hadapannya.

Lidya membalas sapaan tersebut, dan mencoba menarik sedikit senyum di bibirnya. Tak berlangsung lama percakapan mereka, sampai Pria itu mengajak Lidya untuk bergegas meninggalkan tempat karena waktu telah menunjukan pukul sepuluh malam.

Ya.. Dia ingat itu. Iklam, sosok yang kini sudah hilang. Kenangan itu hanya bisa dia rasakan dan tak akan terulang, lagi. Mungkin, Lidya berharap Iklam tak pernah pergi disaat dirinya tengah bergantung penuh pada Pria tersebut. Tapi, mau bagaimanapun Iklam sudah tak ada untuknya. Kini dia hanya bisa mengandai-andai dan memandanginya dari kejauhan, tanpa mampu berucap apa yang dia rasakan di dalam hatinya.

Serupa sebatang pohon yang telah patah, ingin disatukan bagaimana caranya pun tak akan pernah kembali seperti semula.

Waktu memberikan dia banyak pelajaran, meski hatinya tak pernah dia biarkan dengan mudah untuk jatuh cinta pada orang lain. Membuka hati terkadang begitu sulit ketika kenangan dan masa lalu membawannya terus kembali. Dia mencoba menikmati hidupnya, meyakinkan diri bahwa akan ada seseorang yang membuatnya mampu melupakan masa lalu, meski itu masih jauh dari apa yang sekarang Lidya rasakan.

20 Februari 2011

Cuaca begitu cerah untuk dirinya biarkan berlalu, dia masih ingin bersantai menikmati angin yang berhembus, memperhatikan langkah orang-orang yang berlalu lalang, atau memandangi beberapa burung yang berdiam diatas pepohonan. 

Dia memilih untuk mendatangi Caffe Waddy, yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya. Waktu menunjukkan pukul dua siang, pengunjung berdatangan dengan berbagai pikiran yang berterbangan diatas kepala mereka. Menempati setiap bangku, lalu berusaha memilah-milah menu makanan yang telah disediakan.

Itulah pandangan dirinya sesaat setelah memasuki ruangan. Langkah kakinya mengarah pada salah satu meja kosong disudut ruangan, tak lama dirinya berusaha merogoh isi kantong yang dia bawa, dan setelah mendapatkan apa yang dia cari-cari, Lidya membuka menu sembari menghela nafas sesaat. Tidak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Masih tetap sama. Lidya merasa disini tempat paling asyik untuk berdiam, sendirian.

Di balik kepulan asap yang keluar dari secangkir Mocca hangat. Lidya tidak sadar, ada seorang Pria yang sedang memperhatikannya. Mencoba menaruh seluruh perhatian pada gadis itu sembari berusaha menoleh pada objek lain. Pria itu bernama Raga. Pengunjung yang sering datang ke Caffee ini untuk sekedar menghilangkan penat, mengisi waktu luangnya menulis di temani beberapa cangkir Coffee hangat. Raga masih dengan pandangan yang mengarah lurus-lurus pada bangku dimana Lidya terdiam, dia ingin sekali mengenal gadis itu, meski dirinya sendiri tak begitu yakin.

Belum sempat melangkahkan kaki, mendekati Lidya. Raga di kagetkan dengan tarikan dari arah sampingnya, yang membuat Pria tersebut hampir terjatuh.

"Ehhh.." Gumam, Raga.

"Hayu, cepetan pergi!" Sahut seseorang yang masih saja memegangi lengan Raga dengan cukup keras.

"Yelah, lo. Putra, gue masih ada kerjaan." Raga mencoba menolak, ajakan sahabatnya tersebut.

"Udah, buruan Ga.."

Tapi, apa boleh buat. Raga tak mampu menghindar dan akhirnya harus meninggalkan Caffe, dengan hati yang masih sepenuhnya penasaran dengan sosok gadis tersebut. 

Raga menghela nafas, ia sedikit kecewa. Waktu juga sepertinya berjalan begitu cepat, membuat keduanya tak lagi menemukan jalan bertemu ketika tersesat.

Berlalu, tanpa jejak. Hilang, dengan sesak.

Beberapa hari berlalu. 

Sepertinya tak ada hal lain yang membuat Raga menyibukan diri selain menulis. Ia sering menyaksikan berbagai kejadian dan membuat beberapa kesimpulan pada cerita yang dirinya buat. Sejenak, dirinya membayangkan wanita yang telah duduk sendirian beberapa waktu lalu, dia ingin membuat rangkaikan cerita tentang wanita itu, menjadikan satu cerpen atau beberapa puisi saja sudah dia rasa cukup.
Tapi dia belum sempat mengenal wanita itu, ntahlah, hatinya masih ingin mencari tau. Ingin sekali mengerti, mengapa mereka sempat bertemu, pada waktu yang salah, namun dia yakin, bila takdir tak pernah salah.

Malam mulai menua dengan angin yang bertiup cukup kencang. Langit terlihat lebih gelap dari biasanya. 
Diatas kasur bermotifkan salah satu team favorite Liga Inggris, Raga masih saja berkutat dengan Jejaring Sosial miliknya, sampai-sampai dirinya pun tak ingat kapan terakhir mengisi perut. Rasa penuh bosan terpampang jelas dari raut wajahnya itu, yang sesekali memperhatikan beberapa kicauan dari Timeline Twitternya tersebut. Tak lama, perhatiannya tertuju pada seorang wanita yang sedang berkicau mengenai salah satu Dewa Yunani. Raga merasa tak pernah mengikuti Twitter wanita itu. Perasaan ragunya menjadi-jadi, hingga membuat ia berusaha untuk mengatahui siapa pemilik jejaring sosial itu..

Dia memperhatikan dalam-dalam, berusaha mengingat.
Ada beberapa bagian dari wajah wanita tersebut yang tak begitu asing, ia masih mencoba menarik kembali ingatannya. Setelah beberapa saat, Raga akhirnya tertegun. Dia merasa tak menyangka, bila pemilik jejaring sosial itu ialah wanita yang ingin dirinya ajak berkenalan di Caffe Weddy.

Ada seulas senyum kecil terpasang dari wajah yang beberapa saat lalu terlihat bosan. Ada rasa bahagia, yang tiba-tiba hadir menyelimuti perasaanya.

Dia membuka profil Twitter Wanita dengan nama lengkap. Lidya Nurul. Raga masih tak menyangka dan berusaha menahan tawa, karena bisa bertemu kembali dengan wanita itu meski hanya di jejaring social. Terasa dunia begitu sempit, ya, memang.

Berhubung mereka sudah saling mengikuti, Raga mencoba mengirimkan sebuah pesan singkat pada gadis itu. Tidak perlu waktu lama, harapannya terwujud. Lidya membalas pesan Raga.

“Hey, boleh tau, kapan ya kita saling follow?” Raga memberanikan diri.

“Gatau, emang kamu siapa ya?”

“Raga..”

Percakapan mereka berlanjut sampai pada sesi perkenalan, Raga berusaha tidak terlalu cepat untuk mengajaknya mengobrol. Ia lebih dulu mencoba mencari tau, tentang Lidya. Setelah berbincang begitu lama, akhirnya mereka saling berpamitan dan mengucapkan selamat malam.

Mungkin kata-kata bahwa Tuhan merupakan sutradara yang misterius itu benar ya,  kita memang di takdirkan sebagai seorang actor yang terkadang perlu bertanya dengan peran yang kita jalankan. Tapi percayalah bahwa hidup kita itu adalah film terbaik sepanjang masa.

Setelah mampu berkenalan dengan Lidya, ia belum yakin untuk membuka topik pembicaraan baru dengan wanita itu, disatu sisi akhir minggu ini, Raga mengalami beberapa kejadian yang tidak menyenangkan dan mendapat berbagai masalah yang datang dengan cepat. Dirinya butuh seseorang untuk menuangkan segala masalah dan mencari solusi yang membebani hubungannya bersama Tari.

Tapi Raga tidak tau, pada siapa dirinya harus menuangkan perasaan kesal, sedih yang dia rasakan. Dirinya tak ingin terlihat lemah di depan teman-temannya, tak tahu apa orang-orang disekitarnya mampu membuatnya kembali seperti biasa. Seketika, muncul sebuah idea untuk membuka percakapan dengan Lidya. Meski terbilang masih baru berteman, Raga merasa dirinya begitu lepas ketika berbincang dengan Lidya, ia mampu membahas berbagai macam hal, misalkan tentang kegiatan disekolah atau kesibukan yang mereka hadapi.

Tanpa disengaja, Raga menceritakan masalah hubungannya pada Lidya. Dia merasa tak enak setelah beberapa saat, karena itu merupakan masalah pribadinya sendiri. Tapi gadis itu menanggapinya dengan baik, memberikan kenyamanan yang membuat Raga tidak pernah berhenti menceritakan dan meminta solusi padanya.

Sebulan berlalu.

Raga merasa telah cukup dengan Tari, karena Tari semakin tak menghargai hubungan mereka hingga akhirnya memilih untuk berpisah, karena melepaskan terkadang memiliki arti bahwa ada satu hal yang tidak harus dipaksakan. Raga mulai berusaha melupakan sosok Tari dan memulai hidupnya seperti biasa. Pada Hari sabtu, Ia mengajak Lidya untuk datang menuju sebuah acara music yang diselenggarakan disalah satu kampus di kota Bandung. Raga berharap dirinya bisa bertemu dan bertukar perbincangan dengan Lidya pada malam itu. Sudah hampir setengah jam diriny a menunggu, berusaha menikmati suasana yang ada. Hingga akhirnya, pesan terakhir Lidya datang. Tapi pesan itu tidak sesuai dengan apa yang Raga harapkan. Ternyata, Lidya datang dengan lelaki lain, lebih buruknya lelaki tersebut adalah teman Raga. Ada sedikit sesak yang mengarungi perasaannya, menyentil sedikit hati yang menunggu.

Apa daya, harapan tidak selamanya indah bukan?

Jujur, memang sakit di hati, bila kini nyatanya kau memilih dia.

Setelah itu, Raga berusaha menghindari Lidya. Mencoba menghapus seluruh perasaan yang dia miliki untuknya, meski ia sendiri mengapa bisa memiliki perasaan pada Lidya. Tapi sebenarnya Lidya memiliki perasaan pada orang lain. Bukan pada lelaki itu ataupun Raga. Melainkan Iklam.

Seseorang dimasa lalunya.

Setelah mengetahui itu, Raga mulai bersemangat kembali. Dia berharap bisa membantu Lidya melupakan masa lalunya. Mungkin Raga hanya perlu bersabar untuk mendapatkan Lidya. Raga mulai berpikir lagi, dia tidak ingin menyerah setelah berjuang begitu jauh. Melewati waktu cukup lama. Dan berusaha meski menggunakan cara yang tidak sedikit orang menyebutnya konyolKegiatan sepele yang sering Raga lakukan untuk Lidya.

Seperti tetap ada untuk wanita itu kapanpun. Mengisi waktu untuk bercerita bersama dan Raga juga pernah mengungkapkan perasaannya blak-blakan. Meski Lidya tidak menggubrisnya.

Tapi itu tak berhasil. Tidak ada perubahan.

Pada sisi dimana Raga bertahan. Ia tahu, hati Lidya milik seseorang. Dia tidak bisa memaksakan dan tidak seharusnya dia bersikeras untuk memiliki Lidya sepenuhnya. Akhirnya, Raga memutuskan untuk benar-benar berhenti mengharapkan Lidya. Dia juga pernah merasakan kehilangan, tapi ini berbeda. Dia kehilangan seseorang yang belum sempat dia miliki. Waktu membantu Raga melewati berbagai perasaan yang dia rasakan. Raga mulai bisa mengatur perasaan, dan tidak menghubungi Lidya.

Melepaskan sebagian harapan tidak semudah menaruh harapan untuk seseorang.

Setelah makan siang, Raga mendapat pesan dari Lidya yang memintanya untuk menemui dia disalah satu Caffe.

"Hai.. Ga.." Sapa Lidya di telepon.

"Hai juga.." Balas Raga.

"Bisa ketemu, di Caffee Progo, jam empat sore?" Tanya Lidya.

Ada kecemasan. Raga tak ingin, ini membuat dia kembali merasakan perasaan yang sudah susah payah dia hapus. Tapi, dari dalam hatinya Raga tak bisa berdusta bahwa Lidya masih ada disana. Setelah mencoba bernegosiasi dengan dirinya sendiri. Raga menyetujui permintaan Lidya. Mereka bertemu Caffee itu sebelum langit terlihat gelap. Mereka duduk berhadap-hadapan. Ada belenggu yang tidak bisa begitu saja diungkapkan. Raga berharap, Lidya tidak memintanya untuk menjauh. Tapi, bukankah itu yang Raga harapkan sebetulnya?

Lidya diam seribu bahasa. Raga mencoba mengatur segalanya.

“Ga, aku mau ngomong sesuatu..” Lidya membuka percakapan dengan ragu.

Raga menjawabnya dengan waswas. Mereka seperti orang asing yang baru saja bertemu. Disini, Raga tidak ingin menggantungkan harapannya lagi. Ini mungkin tumpuan yang akan membantunya melewati masalah.

“Aku mau jawab, apa yang waktu itu kamu tanyain..”

Seketika. Raga berpikir. Memeriksa setiap ingatan, dan meminta pikirannya mengulang apa yang pernah dia tanyakan pada Lidya. Perasaanya tiba-tiba menyeka ingatan dia.

“Kamu mau jadi pacar aku?” Itu dia pertanyaan yang Raga pernah ungkapkan pada Lidya.

Raga hanya menggagguk pelan. Tidak mau terlalu yakin.

“Tapi, aku mau kamu ulang pertanyaan itu, Ga..”

Lagi-lagi, Lidya membuat Raga tidak bisa memikirkan apa yang harus dia lakukan.

“Ngulang?” Raga menyiritkan dahi.

“Iya..” Jawab Lidya singkat.

“Soal perasaan aku?” Tebak Raga dengan penuh ragu.

Lidya hanya tersenyum.

“Kamu mau, jadi pacarku? Itu?”

Raga sudah tak nyaman dengan keadaan mereka disana. Tidak ada yang perlu diperjuangkan lagi bukan? Hatimu, miliknya. Lalu aku, bisa kau biarkan pergi. Bisik Raga. Dalam hati.

Lidya tidak menjawab. Dia diam tanpa sepatah katapun. Iya, ini sama seperti waktu itu. Sepertinya, Raga telah salah menanyakan pertanyaan pada Lidya.

“Apa salah nanya yah? Maaf, lupa.” Raga bingung dan mencoba meyakinkan diri.

Lidya menggeleng pelan. Dia bersuara lirih. “Nggak salah kok, Ga. Aku mau.”

Ada hening sebentar setelah Lidya menjawab. Sepertinya ada sesuatu yang baru saja menghentikan waktu dan tersungging selusas senyum sebelum Raga sadar bahwa Lidya menerimanya. Mereka saling memasang senyum dengan pandangan yang tak mereka alihkan. Perjalanan cinta yang terlihat biasa, tapi percayalah setiap orang punya jalannya masing-masing. Nikmati itu, dan buatlah ceritamu berarti.

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲